TUGAS MAKALAH
HUKUM
ISLAM
DISUSUN OLEH : RIO FEBRIANTA
DAFTAR ISI
BAB 1.
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG……………………………………………………………….……..1
BAB 2. PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN
JINAYAT…………………………………………………………….……3
B.
FUNGSI DAN TUJUAN DITERAPKANNYA HUKUM………………………….……..5
C.
MACAM-MACAM DAN BENTUK-BENTUK JINAYAT………………………….……6
D.
E. Pengertian Qiyas………………………………………………………………………...7
E.
. Rukun dan Syarat Qiyas…………………………………………………………………..8
BAB 3 . PENUTUP
A.KESIMPULAN…………………………………………………………………………..…..9
B.SARAN………………………………………………………………………………………10
C.DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………………..11
E.SUMBER…………………………………………………………………….………….…...11
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
literatur masyarakat, khusus dalam kehidupan Islam terdapat berbagai
permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang dilakukan manusia.
Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai kekuatan hukum
dengan berbagai macam sangsi. Sangsi yang diberikan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan
Maka
dari itu, dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah
Islam yang bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap manusia, dan
tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Maka
dari itu adanya Qishash bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah
alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan
ketentuan-ketentuan Ilahi
Sebenarnya
kalau hukum yang dibuat manusia belum sepenuhnya bisa mengikat, dan hal
tersebut bisa direkayasa sekaligus bisa dilanggar, karena pada intinya hanya
hukum Islam lah yang sangat cocok bagi kehidupan manusia di dunia. Hal ini
terbukti dengan adanya hukum Islam banyak negara yang merasa cocok dengan
berlakunya hukum Islam. Tapi ada satu hal yang masih menjadi pertanyaan apakah
benar hukum islam itu sulit diterapkan dalam suatu tatanan kemasyarakatan atau
itu hanya sebuah alasan dari segelintir orang yang tidak suka terhadap aturan
tersebut.
Dalam
makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai
dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas
mengenai Qishash/Hudud “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam
hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul
suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.
BAB II
PEMBAHSAN
A. PENGERTIAN
JINAYAT
Jinayah
menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh
seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan
seseorang yang lain dengan sengaja. Penta`rifan tersebut adalah khusus pada
kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau
menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau
melukakannya
yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.
Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta
benda, akal fikiran dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang
tertakluk di bawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud,
qisas, diyat atau ta`zir.
Faedah dan manafaat daripada Pengajaran
Jinayat :-
Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku
berbunuhan sesama sendiri dan sebagainya
Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat
daripada segala fitrah tuduh-menuduh.
Menjaga keamanan maruah di dalam harta
benda dan nyawa daripada kecurian, ragut dan lain-lain.
Berhubung dengan keamanan negara dan
menyelenggarakan keselamatan diri.
Perkara yang berhubung di antara
orang-orang Islam dengan orang-orang kafir di dalam negara Islam Pembunuhan
Hukum
Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah.
Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana.
Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi
jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan
dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa
pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa,
harta benda, atau lainnya.
Menurut
A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang
dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan
yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan
istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'.
Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya
untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah
Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan
qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang
sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara'
yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian
fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa
atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan
demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam
disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at
Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut
dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.
Jarimah
Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat.
Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya,
tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban
dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata.
Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman
qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan
akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara
lain pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan, penganiayaan
sengaja dan penganiayaan Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman
qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah
ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi
hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang
menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa
kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat,
hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam
kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan, pembunuhan semi sengaja,
pembunuhan keliru , penganiayaan sengaja dan penganiayaan salah.
Diantara
jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan sengaja karena
hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan
orang lain tanpa alasan syar'i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang
lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin.
"Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya
adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya
serta menyediakan azab yang besar baginya." (an nisa': 93). Rosulullah SAW
juga bersabda, " Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari
kiamat adalah masalah darah".
Dalam
Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak
bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi
hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta Abdl Basyir, 2003:
61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti dari
hukuman mati yang merupakan hukuman asli
dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
Jarimah
Ta'zir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi
terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu
lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan
jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga
kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan
(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip
syar'i (nas).
Jenis
sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya
kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling
utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan
pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir
prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan
melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan(bahaya). Disamping itu,
penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i (nas).
B. FUNGSI DAN
TUJUAN DITERAPKANNYA HUKUM
Tujuan
diterapkannya hukum adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (mengambil
segala yang bermaslahat serta menolak segala yang merusak dalam rangka menuju
keridhaan Allah sesuai dengan prinsip tauhid)
Ditinjau
dari segi prioritas kepentingannya bagi kehidupan manusia, tujuan diterapkannya
hukum terbagi menjadi lima, yaitu:
1.
memelihara agama
2.
memelihara jiwa
3.
memelihara akal
4.
memelihara keturunan dan kehormatan
5.
memelihara harta
Sedangkan
fungsi diterapkannya hukum adalah mencapai tujuan yang akan dituju.
C. MACAM-MACAM DAN
BENTUK-BENTUK JINAYAT
1.
Diyat (Denda)
Pengertian
: denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum
bunuh.
Diyat
ada dua macam, yaitu
a.
Diyat Mughaladzah (denda berat), yaitu seratus ekor unta, dengan perincian: 30
ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta betina, umur empat
masuk lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.
b.
Diyat Mukhaffafah (denda ringan), yaitu seratus ekor unta, tetapi dibagi lima,
yaitu 20 ekor unta betina umur tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur dua masuk
tiga tahun, 20 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 20 ekor unta
betina umur empat masuk lima tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang
membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Hikmah
dari Diyat ada tiga, yaitu:
a.
mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga
b.
obat pelipur lara korban
c.
timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat
2.
Kifarat
Pengertian
: tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh
syari’at Islam karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang
diharamkan Allah.
Macam-macam
kifarat ada dua, yaitu:
a.
Kifarat karena pembunuhan, yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya / berpuasa
selama 2 bulan berturut-turut.
b.
Kifarat karena melanggar sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin
atau memberi pakaian, memerdekakan 1 budak atau berpuasa 3 hari
3.
Hudud
Pengertian
: sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera / dipukul (jilid) atau
dengan dilempari batu hingga mati (rajam)
Perbuatan
yang dapat dikanakan hudud ada 4, yaitu:
a.
Zina
b.
Qadzaf (menuduh orang berbiat zina)
c.
Minuman keras
d.
Mencuri
5.
Ta’zir
Pengertian
: apabila seorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat
untuk dihukum atau tidak/belum memenuhi syarat membayar diyat. (hukuman yang
tidak ditetapkan hukumnya dalam quran dan hadits yang bentuknya sebagai hukuman
ringan).
D.
Qishash
1.
Qishash
Pengertian
: hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan anggota
badan sesorang, yang dilakukan dengan sengaja.
Dasar
hukum : Al Baqarah : 178, An Nisa’ : 93 dan beberapa hadits
يا
يهاالذينءامنوا كتب عليكم القصاص في قتل...(البقرة: 178)
Syarat-syarat
Qishash :
a.
Pembunuh sudah baligh dan berakal sehat
b.
Pembunuh bukan orang tua dari orang yang dibunuh
c.
Jenis pembunuhan adalah pembunuhan yang disengaja
d.
Orang yang dibunuh terpelihara darahnya
e.
Orang yang dibunuh sama derajatnya
f.
Qishash dilakukan dalam hal yang sama
2.
Hikmah hukum Qishash
1. Memberikan pelajaran bagi manusia untuk
tidak melakukan kejahatan terhadap manusia
2. Manusia akan merasa takut berbuat jahat
pada orang lain
3. Qishash dapat melindungi jiwa dan raga
manusia
4. Timbulnya ketertiban, keamanan dan
kedamaian dalam masyarakat
E.
Pengertian Qiyas
1.
Secara bahasa
Qiyas berasal dari bahasa arab
yaitu قياس yang artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Ada juga yang
mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian
menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan qiyas sebagai
mengukur dan menyamakan.
2.
Secara istilah
Pengertian
qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu
yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Definisi lain dari qiyas menurut ahli
ushul fiqh adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Menurut
istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah
menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya
dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada illat antara keduanya.
Ibnu Subki mengemukakan dalam kitab Jam’u al-Jawami, qiyas adalah menghubungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam
illat hukumnya menurut mujtahid yang menghubungkannya.
Selain
pengertian di atas, banyak lagi pengertian qiyas lainnya diantaranya
menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan
ada hal yang sama diantara keduanya dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
Berdasarkan
pengertian-pengertian qiyas yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan
pengertian qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dalam al-Qur’an dan sunnah dengan cara membandingkannya
kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau
peristiwa itu.
F.
Rukun dan Syarat Qiyas
Berdasarkan
defenisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada
nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena illat serupa, maka
rukun qiyas ada empat macam, yaitu
al-Ashl.
Ashl adalah masalah yang telah ditetapkan
hukumnya dalam al-Qur’an ataupun Sunnah. Ia disebut pula dengan maqis ‘alaih
(tempat mengqiyaskan) dan maha al-hukm ijal-musyabbah bihm yaitu wadah yang
padanya terdapat hukum untuk disamakan dengan wadah yang lain.
Adapun
syarat-syarat ashl adalah:
·
Hukum
ashl adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
·
Hukum
itu ditetapkan berdasarkan syara’
·
Ashl
itu bukan merupakan furu’ dari ashl lainnya
·
Dalil
yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum
·
Ashl
itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
·
Hukum
ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2.Furu’
Fara’ yang berarti cabang, yaitu
suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau
musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan).
Adapun
syarat-syarat furu’ adalah:
·
Tidak
bersifat khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada furu’
·
Hukum
al-ashl tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas
·
Tudak
ada nash yang menjelaskan hukum furu’ yang ditentukan hukumnya
·
Hukum
al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan daripada furu’
3.
Hukum ashl
Illat
yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu. Dengan persamaan inilah
baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (ashl)
karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu’.
Adapun
syarat-syarat hukum al-Ashl adalah:
Ø Illatnya sama pada illat yang ada
pada ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya
Ø Hukum ashl tidak berubah setelah
dilakukan qiyas
Ø Hukum furu’ tidak mendahului
hukum ashl
Ø Tidak ada nash atau ijam’ yang
menjelaskan hukum furu’ itu.
4.
Illat
Illat
secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya penyakit
disebut illat karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit.
Menurut istilah, sebagaimana dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf, illat adalah
suatu sifat pada ashl yang mempunyai landasan adanya hukum .
Adapun
cara untuk mengetahui illat adalah melalui dalil-dalil al-Qur’an atau Sunnah,
baik yang tegas maupun yang tidak tegas, mengetahui illat melalui ijma’, dan
melalui jalan ijtihad.
Adapun
syarat-syarat illat adalah:
·
Illat
harus berupa sifat yang jelas dan tampak
·
Illat
harus kuat
·
Harus
ada korelasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi
illat
·
Sifat-sifat
yang menjadi illat yang kemudian melahirkan qiyas harus berjangkauan luas,
tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu
·
Tidak
dinyatakan batal oleh suatu dalil
G. Macam-Macam
Qiyas
1. Dari segi
kekuatan illat
ü Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang
berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashl karena
kekuatan illat pada furu’.
ü Qiyas musawi, yaitu qiyas yang
berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashl
karena kekuatan illatnya sama
ü Qiyas adwan, yaitu qiyas yang
berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum
pada ashl meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Dari segi
kejelasan illatnya
ü Qiyas jali, yaitu qiyas yang
illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashl
ü Qiyas khafi, yaitu qiyas yang
illatnya tidak disebutkan dalam nash.
3. Dari segi
keserasian illat dengan hukum
ü Qiyas muatssir, yaitu qiyas yang
illat penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan dengan nash yang sharih
atau ijma’
ü Qiyas mulaim, qiyas yang illat
hukum ashl dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib
mulaim.
4. Dari segi
dijelaskan atau tidaknya illat dalam qiyas itu
ü Qiyas ma’na, yaitu qiyas yang
meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashl dengan furu’
tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah ashl itu sendiri
ü Qiyas illat, yaitu qiyas yang
illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya
hukum dalam ashl.
ü Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang
illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan
keharusan bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ü Jinayah menurut fuqaha' ialah
perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk
mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain
dengan sengaja
ü Menjaga keamanan maruah di dalam
masyarakat daripada segala fitrah tuduh-menuduh.
ü Tujuan diterapkannya hukum adalah
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (mengambil segala yang bermaslahat
serta menolak segala yang merusak dalam rangka menuju keridhaan Allah sesuai
dengan prinsip tauhid)
ü Pengertian : hukuman balasan yang
seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan anggota badan sesorang, yang
dilakukan dengan sengaja.
ü Qiyas berasal dari bahasa arab
yaitu قياس yang artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Ada juga yang
mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian
menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan qiyas sebagai
mengukur dan menyamakan.
B. Saran
Semoga
dengan selesainya makalah ini, maka penyusun sangat mengarapkan respon dari
para teman – teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran konstruktif dari
siapapun datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat adanya, khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya para pembaca
lainnya.
Amin
ya robbal a’lamiiin
C.DAFTAR
PUSTAKA
Ø Subul as-Salam al-Mushilah ila
Bulugh al-Maram, 7:231, tahqiq Muhammad Shubhi Hasan Halaf, Muhammad bin
Isma’il ash-Shan’ani, cetakan kedelapan, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA.
Ø Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad
al-Mustaqni’: 14/5, Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, cetakan pertama, tahun
1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA.
Ø 'Abdul 'Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz
Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.
Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah)
Ø